![]() |
Oleh : RIFER. D.H. REFRA
Redaksi | Malra-News.id - Kampanye Pilkada 2024, dengan segala dinamikanya, menghadirkan tantangan besar bagi tatanan sosial dan budaya di berbagai daerah, termasuk bagi Suku Kei di Kota Tual dan Maluku Tenggara.
Salah satu ancaman yang paling serius adalah munculnya narasi ujaran kebencian yang dapat menggerus filosofi luhur masyarakat Kei, yaitu "Ain ni Ain". Filosofi yang berarti "satu memiliki lainnya" ini mengajarkan nilai-nilai penting seperti kekeluargaan, persaudaraan, dan kemuliaan manusia nilai-nilai yang selama ini menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Kei.
"Ain ni Ain" tidak hanya sebuah slogan, tetapi menjadi pedoman hidup yang dihayati secara mendalam oleh masyarakat Kei.
Falsafah ini berperan sebagai kurikulum pemanusiaan, yang bertujuan menjadikan setiap individu berkat bagi sesama dan dunia. Ia mengajarkan transparansi, kedamaian jiwa, dan rasa kemanusiaan yang tinggi, menciptakan masyarakat yang harmonis dan saling menghormati.
Namun, narasi ujaran kebencian yang sering muncul dalam kontestasi politik, khususnya selama Pilkada 2024, berpotensi merusak falsafah tersebut.
Ujaran kebencian mendorong permusuhan, mengadu domba, dan menebar perpecahan, bertolak belakang dengan semangat persaudaraan Ain ni Ain.
Ketika politisi dan para pendukungnya menggunakan retorika yang memecah belah untuk memenangkan suara, mereka secara tidak langsung merusak hubungan antarindividu dan kelompok di dalam masyarakat Kei.
Jika narasi kebencian ini dibiarkan berkembang, lambat laun ia akan mengikis nilai-nilai kebersamaan yang menjadi inti dari falsafah Ain ni Ain.
Filosofi yang seharusnya menjadi penjaga harmoni sosial justru akan terpinggirkan oleh retorika politik yang mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan.
Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya rasa persaudaraan dan kemuliaan manusia, menggantinya dengan ketidakpercayaan, ketegangan, dan permusuhan.
Penting untuk diingat bahwa falsafah Ain ni Ain bukan sekadar warisan budaya, tetapi sebuah panduan hidup yang universal dan relevan di era modern.
Masyarakat Kei harus menjaga filosofi ini agar tetap menjadi fondasi kehidupan bersama, terutama dalam masa-masa yang penuh tantangan politik. Ujaran kebencian tidak boleh dibiarkan merusak tatanan sosial yang telah lama dibangun.
Oleh karena itu, peran aktif semua elemen masyarakat diperlukan untuk menolak narasi negatif dan terus menghidupkan nilai-nilai Ain ni Ain, demi masa depan yang tentram dan beradab.
Pencegahan dan Pengawasan Terhadap Narasi Ujaran Kebencian Saat Kampanye Pilkada 2024
Meningkatnya intensitas ujaran kebencian selama masa kampanye Pilkada 2024 menuntut langkah-langkah pencegahan dan pengawasan yang lebih serius. Ujaran kebencian yang beredar, baik secara langsung dalam bentuk pidato kampanye maupun melalui media sosial, dapat merusak kohesi sosial, memicu konflik antar kelompok, dan mengancam persatuan bangsa. Untuk itu, diperlukan strategi yang komprehensif melibatkan berbagai pihak agar pelaksanaan Pilkada berjalan damai dan bermartabat.
1. Regulasi yang Tegas dan Penguatan Sanksi Hukum
Salah satu langkah utama dalam pencegahan ujaran kebencian adalah penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur larangan penyebaran ujaran kebencian dalam kampanye. Namun, implementasi yang lebih ketat diperlukan. Aparat penegak hukum seperti Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan harus aktif mengawasi kampanye dan segera menindak tegas setiap pelanggaran. Sanksi yang lebih berat, termasuk denda atau diskualifikasi kandidat, dapat menjadi deterrent bagi pelaku.
2. Peran Aktif Bawaslu dan KPU
Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya kampanye agar bebas dari ujaran kebencian. Penguatan kerja sama antara Bawaslu dengan platform media sosial juga perlu diintensifkan, mengingat banyak narasi kebencian menyebar di ranah digital. KPU juga berperan dalam memberikan edukasi kepada pasangan calon dan tim sukses mengenai etika berkampanye, serta pentingnya menjaga kesatuan bangsa.
3. Pendidikan Pemilih yang Cerdas
Edukasi terhadap pemilih menjadi salah satu kunci pencegahan penyebaran ujaran kebencian. Pemilih yang cerdas dan kritis tidak mudah terprovokasi oleh narasi kebencian yang disebarkan oleh oknum tertentu. Lembaga masyarakat sipil, media massa, dan organisasi keagamaan dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya ujaran kebencian. Kampanye yang mengedepankan gagasan dan program kerja harus dipromosikan sebagai bentuk kampanye yang positif.
4. Pengawasan Media Sosial
Media sosial menjadi sarana utama penyebaran narasi kebencian selama kampanye. Untuk mencegah hal ini, platform media sosial perlu bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga pengawas untuk memfilter konten yang memuat ujaran kebencian. Teknologi seperti AI bisa digunakan untuk mendeteksi konten berbahaya, dan akun-akun yang menyebarkan kebencian harus segera ditindak. Selain itu, edukasi tentang literasi digital kepada masyarakat menjadi langkah penting agar mereka mampu menyaring informasi yang diterima.
5. Peran Tokoh Masyarakat dan Pemuka Agama
Tokoh masyarakat, pemuka adat, dan pemuka agama memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat. Mereka dapat menjadi agen perdamaian yang menyebarkan pesan persatuan dan mencegah berkembangnya ujaran kebencian. Kampanye yang menyerukan kerukunan, menghormati perbedaan, dan menjaga kesatuan harus lebih dikedepankan daripada narasi kebencian yang memecah belah.
6. Pembentukan Satgas Anti-Ujaran Kebencian
Pemerintah dapat mempertimbangkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Anti-Ujaran Kebencian yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Kepolisian, Bawaslu, Kemenkominfo, dan organisasi masyarakat sipil. Satgas ini bertugas untuk memantau, melaporkan, dan menindak ujaran kebencian yang terjadi selama kampanye, baik di media konvensional maupun digital. Satgas ini juga dapat bekerja sama dengan platform media sosial untuk menurunkan konten-konten bermuatan kebencian dengan cepat.
7. Pengawasan Kolaboratif dengan Masyarakat
Selain lembaga formal, masyarakat sendiri dapat terlibat aktif dalam pengawasan kampanye. Melalui mekanisme pelaporan seperti aplikasi pengaduan yang disediakan oleh Bawaslu atau Kemenkominfo, masyarakat dapat melaporkan adanya ujaran kebencian yang terjadi di lingkungannya. Partisipasi ini memberikan pengawasan yang lebih luas dan memastikan bahwa setiap tindakan ujaran kebencian tidak dibiarkan tanpa pengawasan.
8. Deklarasi Kampanye Damai
Deklarasi kampanye damai oleh seluruh pasangan calon dan partai politik adalah langkah penting untuk memastikan komitmen terhadap pelaksanaan Pilkada yang bersih dari ujaran kebencian. Deklarasi ini harus menjadi komitmen bersama yang tidak hanya diucapkan, tetapi dijalankan secara konsisten.
Kesimpulan
Pencegahan dan pengawasan terhadap ujaran kebencian selama kampanye Pilkada 2024 memerlukan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pengawas, media, hingga masyarakat umum. Dengan regulasi yang tegas, pengawasan ketat, dan edukasi yang berkelanjutan, diharapkan kampanye dapat berjalan dengan tentram dan bermartabat, serta tidak mengorbankan nilai-nilai persatuan dan kerukunan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment